Rabu, 06 Juli 2011

KAJIAN KRIMONOLOGIS TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP ISTRI (Suatu Studi Di Wilayah Hukum Polres Slawi)


RAGANGAN SKRIPSI

Oleh: Budi Waluyo

A.     Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah suatu negara hukum (rechstaat) dimana mengutamakan  hukum di atas segalanya dalam kehidupan bernegara, salah satu usahanya adalah dengan melaksanakan pembangunan dibidang hukum untuk mewujudkan suatu keadilan, kepastian hukum, ketertiban serta masyarakat yang sadar dan taat  hukum. Upaya menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.
Hukum sebagai suatu sistem dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum, diperlukan baik norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan, juga aparatur pengemban dan penegak hukum yang profesional, berintegritas dan disiplin yang didukung oleh sarana dan prasarana hukum serta perilaku hukum masyarakat.
Rumah tangga merupakan kelompok terkecil dalam suatu masyarakat. Rumah tangga terbentuk melalui ikatan perkawinan yang sah. Di dalam rumah tanggalah terbentuk karakter dan watak seorang anak melalui didikan orang tuanya.

Rumah tangga yang semula diharapkan menjadi tempat berlindung berubah menjadi neraka yang menakutkan dan biasanya pihak perempuanlah yang selalu menjadi korbannya. Kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan rumah tangga sangat sering terjadi, namun ironisnya perempuan yang menjadi korbannya biasanya hanya pasrah menerima keadaannya.
Pada umumnya kaum perempuan beranggapan kekerasan yang dilakukan suami terhadap dirinya merupakan hal yang lumrah dan biasa. Begitu pula dengan suami menganggap kekerasan-kekerasan yang dilakukan di lingkungan rumah tangganya merupakan kejadian biasa yang lepas dari jangkauan hukum. Mereka tidak menyadari bahwa kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan rumah tangga tersebut merupakan suatu tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana pula.
UU tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU NO 23 Tahun 2004) yang disahkan pada 22 September 2004 merupakan peraturan yang bertujuan menghapus kekerasan dalam bentuk apa pun di dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga. Hal ini dilihat dalam pasal 1 UU tersebut yang memberikan pengertian yang luas tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU NO 23 Tahun 2004 adalah :
“ Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga”.

Pengertian kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasaan seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik merupakan perbuatan yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Sedang kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

B.     Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah sebab-sebab terjadinya tindak pidana penganiayaan terhadap istri dari kajian hukum kriminologi ?
2.      Bagaimanakah upaya hukum terhadap tindak pidana penganiayaan terhadap istri ?

C.     Kerangka Teori

Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam keseharian. Perempuan dan juga anak sebagai korban utama dalam kekerasan dalam rumah tangga, mutlak memerlukan perlindungan hukum. Saat ini UU mengenai kekerasan dalam rumah tangga sedang dalam tahap penggodokan. Lahirnya UU ini berawal dari inisiatif LBH Advokasi untuk Perempuan Indonesia dan Keadilan (APIK) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya yang tergabung dalam Jaringan Kerja Advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka PKTP) untuk menyiapkan UU anti KDRT. UU anti KDRT ini telah disiapkan oleh LBH APIK dan Jangka PKTP sejak tahun 1998 melalui dialog publik. Persiapan ini memang termasuk lama mengingat isu KDRT masih kurang dikenal oleh masyarakat dan diragukan oleh kalangan tertentu.
Dari fakta yang terjadi di lapangan, pihak yang sering menjadi korban dalam persoalan KDRT berjenis kelamin perempuan dan anak-anak. Jumlah korban KDRT mengalami peningkatan dari hari ke hari. Namun ironisnya penegakan hukum untuk pencapaian keadilan bagi si korban juga menunjukan angka yang berbanding terbalik dengan jumlah angka korban tersebut.
UU anti KDRT juga bertujuan menjaga keutuhan rumah tangga, dimana keutuhan rumah tangga dapat terjadi jika setiap anggota keluarga menyadari hak dan kewajibannya masing-masing/tidak ada satu anggota keluarga yang bisa melakukan kesewenang-wenangan. Keutuhan yang dimaksudkan disini artinya posisi yang sama antara sesama anggota keluarga, posisi yang seimbang antara istri dengan suami dan anak dengan orang tua dan tidak ada satu pihak yang merasa tersubordinat dengan pihak yang lain.
Konsep KDRT mungkin belum dikenal oleh masyarakat secara luas. Pengertian KDRT  menurut UU anti KDRT adalah segala bentuk, baik kekerasan secara fisik, secara psikis, kekerasan seksual maupun ekonomi yang pada intinya mengakibatkan penderitaan, baik penderitaan yang secara kemudian memberikan dampak kepada korban, seperti misalnya mengalami kerugian secara fisik atau bisa juga memberikan dampak korban menjadi sangat trauma atau mengalami penderitaan secara psikis.
KDRT juga diistilahkan dengan kekerasan domestik. Dengan pengertian domestik ini diharapkan memang tidak melulu konotasinya dalam satu hubungan suami istri saja, tetapi juga setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu. Jadi bisa saja tidak hanya hubungan suami istri, tapi juga hubungan darah atau bahkan seorang pekerja rumah tangga menjadi pihak yang perlu dilindungi.
 Persoalan KDRT merupakan fenomena gunung es yang hanya kelihatan puncaknya sedikit tetapi sebetulnya tidak menunjukan fakta yang valid. Persoalan KDRT banyak terjadi di keluarga, namun umumnya keluarga korban tidak mempunyai ruang atau informasi yang jelas apakah persoalan keluarga mereka layak untuk dibawa ke pengadilan, karena selama ini masyarakat menganggap bahwa persoalan-persoalan KDRT adalah persoalan yang sifatnya sangat pribadi dan hanya diselesaikan dalam lingkup rumah tangga saja.
Salah satu konsekuensi meningkatnya jumlah korban KDRT (khususnya dari kelompok korban yang berstatus istri) sebenarnya sangat berakibat terhadap persoalan rumah tangga mereka sendiri. Jika kasus-kasus KDRT pada akhirnya menimbulkan dampak traumatic pada anggota keluarga yang lain dan meningkatkan angka kriminalitas maka hal itu akan semakin menguatkan perlunya intervensi negara melalui produk UU agar kelompok korban bisa mendapatkan keadilan dan pelaku ataupun calon pelaku tidak semakin merajalela.
Selama ini KDRT selalu diindikasikan sebagai salah satu bentuk delik aduan. Padahal sebenarnya apabila dilihat dalam Pasal 351 KUHP (tentang penganiayaan) dan Pasal 356 KUHP (pemberatan) sama sekali tidak mensyaratkan adanya satu delik aduan. Hanya saja masyarakat (khususnya aparat penegak hukum) selalu menganggap jika suatu kasus  berkaitan dengan keluarga maka selalu dinyatakan sebagai delik aduan, padahal kasus itu sebenarnya adalah sebuah kejahatan murni. Kalaupun misalnya di belakang hari nanti korban melakukan pencabutan aduan, seharusnya polisi bersikap tegas dengan menganggap bahwa apa yang dilaporkan itu memang sebagai suatu bentuk kejahatan dan harus ditindaklanjuti ke pengadilan.
Ketidakberanian korban sangat berkaitan erat dengan budaya yang berlaku di Indonesia, yaitu budaya patriarki yang sangat kental yang seringkali melihat bahwa masalah KDRT bisa diselesaikan tanpa harus melalui jalur hukum. Ironisnya, pilihan untuk menyelesaikan persoalan KDRT tanpa melalui jalur hukum selalu disampaikan oleh aparat penegak hukum sendiri. Padahal aparat penegak hukum sebetulnya sangat mengetahui bahwa persoalan KDRT adalah kejahatan yang harus direspon dengan hukum.
Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa siapa saja bisa sangat rentan mendapatkan kekerasan asalkan ia berjenis kelamin perempuan. Namun tidak menutup kemungkinan suami mendapatkan perlakuan kekerasan dari istrinya. KDRT juga mungkin saja dilakukan oleh ibu kandung terhadap anak kandungnya sendiri. Hal itu juga telah diantisipasi dalam UU KDRT, karena seperti telah dijelaskan di atas, ruang lingkup KDRT adalah kekerasan domestik. Artinya hubungan perkawinan yang tidak hanya dilihat dari segi hukum negara, tapi juga dari hukum adat atau agama (termasuk nikah dibawah tangan dan hidup bersama). Oleh karena itu yang dilindungi tidak hanya istri, tapi juga anak, pasangan hidup dan pembantu rumah tangga
Dalam UU anti KDRT kekerasan dibagi 4 macam, yaitu :
a.      Kekerasan fisik
Memukul dengan menggunakan alat tubuh atau alat bantu dan bisa dideteksi dengan mudah dari hasil visum)
b.      Kekerasan psikis;
c.      Kekerasan ekonomi (dalam KUHP disebut penelantaran orang-orang yang wajib ditolong);
d.      Kekerasan seksual (dalam KUHP disebut delik kesusilaan, namun di KUHP tidak dikenal kekerasan seksual terhadap istri);
UU anti KDRT mengenal kekerasan seksual/marital rape terhadap istri. Hal ini akan terlihat janggal karena kerangka yang dipakai adalah perkawinan sebagai satu bentuk yang melegitimasi apapun bentuk interaksi antara suami istri.  Sebagai contoh “Apa benar dalam suatu hubungan suami istri itu ada perkosaan, karena kalau yang namanya istri itu kan hukumnya wajib melayani suami, jadi tidak ada yang namanya kekerasan, paksaan, karena memang harus”. Hal itulah yang sebenarnya menarik untuk kemudian dilihat kembali karena ternyata menimbulkan perbedaan-perbedaan.
Pembuktian dalam UU anti KDRT tidak hanya (mau) melihat pembuktian dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Piadana (KUHAP). Oleh sebab itu UU anti KDRT tidak hanya mengatur hukum materilnya saja, tapi juga mengatur hukum acaranya (kecuali jika ada hal hal tertentu yang tidak diatur dalam UU anti KDRT maka akan menggunakan KUHAP). UU anti KDRT memungkinkan satu alat bukti (keterangan sanksi atau alat bukti lainnya) sebagai pembuktian yang dirasa cukup. Namun hal ini perlu didiskusikan lebih lanjut karena masih mengundang perdebatan, terutama dari pihak aparat penegak hukum. Untuk itu perlu segera dicari jalan keluar terhadap masalah  pembuktian ini di tengah keterbatasan alat bukti dengan tidak menghilangkan kaedah-kaedah hukum yang ada.
Hal lainnya yang terdapat dalam UU anti KDRT adalah adanya saksi pendamping dan perintah perlindungan. Perintah perlindungan disini artinya seorang korban bisa mendapatkan satu bentuk perlindungan sampai kemudian pokok perkaranya atau laporannya ditindaklanjuti. Dalam perintah perlindungan terdapat larangan-larangan yang harus ditaati oleh pelaku, misalnya larangan untuk mendekati korban, larangan untuk menghubungi korban. Larangan-larangan itu merupakan hal yang baru dalam khazanah hukum Indonesia.

D.    Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bagaimanakah sebab-sebab terjadinya tindak pidana penganiayaan terhadap istri dari kajian hukum kriminologi ?
2.      Untuk mengetahui bagaimanakah upaya hukum terhadap tindak pidana penganiayaan terhadap istri ?

E.     Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan memberikan tambahan wacana guna pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya
2.      Manfaat Praktis.
a.       Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir sistematis dan dinamis, sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
b.      Melengkapi syarat akademis guna mendapat gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

F.      Metode Penelitian

1.    Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah metode  pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi sosiologis. Konsepsi ini memandang bahwa hukum identik dengan norma-norma yang ada dalam diri masyarakat pada umumnya.



2.    Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitian yang hanya menggambarkan keadaan objek atau masalahnya secara jelas tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku secara umum.
3.    Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Polres Slawi
4.    Sumber Data
a.       Data Sekunder
Mengingat penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, maka data  pokok yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.
b.      Data Primer
Data primer diperoleh melalui wawancara dengan korban, petugas kepolisian yang terkait sebagai pendukung data sekunder.

5.    Metode Pengumpulan Data
a.   Data Sekunder
Data diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku dan literatur lainnya serta melakukan studi kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan masalah atau objek penelitian.  


b.   Data Primer
Data diperoleh melalui wawancara bebas terpimpin dengan penyidik yang terkait sebagai pendukung data sekunder.
6.    Metode Penyajian Data
Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis. Keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan pokok pemasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.
7.    Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan data yang diperoleh berdasarkan norma, hukum atau kaidah hukum serta doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti.



DAFTAR PUSTAKA

Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti.

Muladi dan Nawawi, Barda. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: UI Press.

Prasetyo, Teguh. 2010. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana. Penerbit Nusa Media, Bandung

Santoso, Topo. 2001. Kriminologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Saleh, Roeslan.1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggun Jawab Pidana. Jakarta: Aksara baru.

Sudarto, 1990. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto Hukum UNDIP.

Soemitro, H. Ronny. 1983.  Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Waluyo, Bambang.  2002. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.


Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta:  Rineka Cipta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar