Rabu, 06 Juli 2011

mpph


A.     Latar Belakang Masalah
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana  ditentukan dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan :
“Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung  jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.

Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas,  maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1 yang menyebutkan :
“Alat bukti yang sah ialah : 
a.       keterangan saksi ;
b.       keterangan ahli  ;
c.       surat ;
d.       petunjuk ;
e.       keterangan terdakwa.”

        Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Mengenai perlunya bantuan seorang ahli dalam memberikan keterangan yang terkait dengan kemampuan dan keahliannya untuk membantu pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana, Prof. A. Karim Nasution menyatakan :
“Meskipun pengetahuan, pendidikan dan pengalaman dari seseorang mungkin jauh lebih luas daripada orang lain, namun pengetahuan dan pengalaman setiap manusia tetap terbatas adanya. Maka oleh sebab itulah selalu ada kemungkinan bahwa ada soal-soal yang tidak dapat dipahami secukupnya oleh seorang penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan, ataupun seorang hakim di muka persidangan sehingga ia perlu diberi pertolongan oleh orang-orang yang memiliki sesuatu pengetahuan tertentu. 

Agar tugas-tugas menurut hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh undang-undang diberi kemungkinan agar para penyidik dan para hakim dalam keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang berpengetahuan dan berpengalaman khusus tersebut.
Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan : “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya.
Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.
Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.
Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Melihat tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan perkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan menayangkan kasus-kasus perkosaan. Dari kualitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin beragamnya cara yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak perkosaan, berbagai kesempatan dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya tindak perkosaan, hubungan korban dan pelaku yang justru mempunyai kedekatan karena hubungan keluarga, tetangga, bahkan guru yang seharusnya membimbing dan mendidik, bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, serta usia korban perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi pada anak-anak.    
Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut, dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan.
Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya (H. M. Soedjatmiko, 2001: 1).   

Dalam kenyataannya tidak jarang pihak Kepolisian mendapat laporan dan pengaduan terjadinya tindak pidana perkosaan yang telah berlangsung lama. Dalam kasus yang demikian barang bukti yang terkait dengan tindak pidana perkosaan tentunya dapat mengalami perubahan dan dapat kehilangan sifat pembuktiannya. Tidak hanya barang-barang bukti yang mengalami perubahan, keadaan korban juga dapat mengalami perubahan seperti telah hilangnya tanda-tanda kekerasan. Mengungkap kasus perkosaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar dapat ditemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut.
Sehubungan dengan peran visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan, pada kasus perkosaan dimana pangaduan atau laporan kepada pihak Kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana perkosaan. Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana perkosaan, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana perkosaan yang terjadi.
Berdasarkan pentingnya penerapan hasil visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul “PERANAN  VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi di Kepolisian Resort Purwokerto)

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah peranan visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana perkosaan ?
2.      Upaya apakah yang dilakukan penyidik apabila hasil visum et repertum tidak sepenuhnya mencantumkan keterangan tentang tanda kekerasan pada diri korban perkosaan ?

C.     Tinjauan Pustaka
1.      Penyidikan
Penyidikan suatu istilah yang dimaksud sejajar dengan pengertian opsporing (belanda) atau investigation (inggris). Menurut De Pinto, dalam Andi hamzah, Menyidik berarti :
“Pemeriksan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-umdang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengan kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum” (Andi Hamzah, 2002 : 118).

Pengertian penyidikan menurut Pasal 1 butir (2) KUHAP adalah :
“Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membut terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP, pengertian penyidikan adalah :
“Pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-umdang untuk melakukan penyidikan”.

Penyidikan merupakan bagian dari hukum acara pidana, bagian yang menyangkut penyidikan adalah :
1)      Ketentuan tentang alat-alat penyidik
2)      Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik
3)      Pemeriksaan ditempat kejadian
4)      Pemanggilan tersangka atau terdakwa
5)      Penahanan sementara
6)      Penggeledahan
7)      Pemeriksaan atau interogasi
8)      Berita Acara (penggeledahan, interograsi, dan pemeriksaan tenpat)
9)      Penyitaan
10)  Penyampingan Perkara
11)  Pelimpahan Perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan (Andi Hamzah, 2002 : 118-119).

Berdasarkan obyek yang dikenai pemeriksaan, pada pemeriksaan dibagi menjadi pemeriksaan saksi dan pemeriksaan tersangka atau terdakwa. Pada tahap pemeriksaan didepan penyidik yang menjadi titik pangkal pemeriksaan adalah tersangka. Dari tersangkalah diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak pemeriksaan, harus memperhatikan asas praduka tak bersalah dan asas akusatur.
Dari asas praduka tak bersalah tersebut mempunyai efek mengenai adanya prinsip akusatur. Prinsip akusatur menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan :
1)      Adalah subyek, bukan obyek pemeriksaan, karena itu tersangka /terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukkan manusia yang mempunyai harkat, martabat, harga diri.
2)      Yang menjadi obyek pemeriksaan adalah “kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Ke arah tersebutlah pemeriksaan dilakukan (M Yahya Harahap, 2001 : 110).

Dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya seorang terdakwa, hal ini mengacu pada Pasal 183 KUHAP. Dimana dalam Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa “dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah” maksudnya adalah bahwa “minimum pembuktian” yang dianggap membuktikan kesalahan terdakwa agar kepadanya dijatuhkan pidana, harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Satu alat bukti saja, undang-undang belum menganggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
Untuk itu Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah disebutkan secara terperinci alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu :
a)      Keterangan saksi;
b)      Keterangan ahli;
c)      Surat;
d)      Petunjuk;
e)      Keterangan terdakwa.



a)        Keterangan saksi
Pada umumnya keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada suatu perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu disandarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu melakukan pembuktian denagn alat bukti keterangan saksi.
Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan bahwa :
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya ini”.

b)        Keterangan ahli
KUHAP tidak menjelaskan apa yang disebut ahli dan apa keterangan ahli sebagai alat bukti. Pasal 186 KUHAP menyatakan :
“Keterangan ahli adalah apa yang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.
Jadi pasal ini tidak menjawab siapa yang disebut ahli dan apa yang disebut keterangan ahli, namun dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP memberikan definisi :
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.


Ahli tidak perlu merupakan seorang spesialis dalam laporan suatu ilmu pengetahuan. Setiap orang menurut hukum acara pidana dan diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai suatu hal, atau memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang suatu hal tertentu (Djoko Prakoso, 19887:82)
c)        Surat
Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
-         berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umumyang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat tentang keterangan atau kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai denagn alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu ;
-         surat yang dibuet menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembktian sesuatu hal atau suatu keadaan ;
-         surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya ;
-         surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

d)        Petunjuk
Pasal 188 yat (1) KUHAP menyatakan :
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun denagn tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.



e)        Keterangan terdakwa
Pasal 189 ayat (1) KUHAP menyatakan :
“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

Melihat bunyi pasal diatas, sudah dapat disimpulkan bahwa keterangan terdakwa yang dinyatakan diluar sidang pengadilan sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang lain. Namun didalam Pasal 189 ayat (2) KUHAP, memberikan suatu penjelasan dimana keterangan terdakwa yang dinyatakan diluar sidang, dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, dan bunyinya adalah sebagai berikut :
“Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepedanya”.

2.      Tindak Pidana Pemerkosaan
a.      Pengertian Perkosaan
Kejahatan perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata perkosaan yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau menggagahi” Berdasarkan pengertian tersebut maka perkosaan mempunyai makna yang luas yang tidak hanya terjadi pada hubungan sexual (sexual intercouse) tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.

Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial. (Soetardjo Wignjo Soebroto, 1997, hal 20)
Berdasarkan pengertian perkosaan tersebut diatas, menunjukkan bahwa perkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara  moral maupun hukum melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan di masyarakat. Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.      

b.      Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP
Mengenai tindak pidana perkosaan atau verkrachting, ketentuan yang mengatur mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya terdapat dalam pasal 285 KUHP. Dirumuskan dalam pasal tersebut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut:
1)      Perbuatannya : memaksa,
2)      seorang wanita bukan istrinya;
3)      bersetubuh dengan dia.
Penjelasan unsur-unsur tindak pidana perkosaan diatas sebagai berikut:
1)      Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain itu, agar kehendak orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian ini pada intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut.
2)      Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285 disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman kekerasan. Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan : “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”
3)      Mengenai wanita bukan isterinya, disini persetubuhan dilakukan terhadap perempuan yang bukan istrinya. Ditentukannya hal tersebut karena perbuatan bersetubuh dimaksudkan sebagai perbuatan yang hanya dilakukan antara suami isteri dalam perkawinan.
Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP diatas, perkosaan tidaklah disebut perkosaan apabila tidak terbukti adanya persetubuhan, padahal untuk membuktikan adanya persetubuhan sangat sulit terlebih apabila korban sudah pernah menikah atau bukan gadis lagi (tidak virgin). Apabila dalam suatu kasus yang diduga sebagai perkosaan ternyata tidak terbukti adanya persetubuhan, kasus tersebut dapat diarahkan pada tindak pidana pencabulan dimana dalam tindak pidana tersebut tidak disyaratkan adanya persetubuhan.

3.      Alat Bukti Visum Et Revertum
a.      Pengertian dan Bentuk Visum Et Revertum
Visum et repertum disingkat VeR adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Pengertian dari Visum Et Revertum itu sendiri, KUHAP tidak memberikan pengertiannya secara jelas. Untuk mengetahui pengertian dari Visum Et Revertum itu sendiri kita masih melihat beberapa pendapat para ahli, seperti :
·        Subekti
Visum et Revertum adalah surat seorang dokter yang memuat kesimpulan suatu pemeriksaan yang telah dilakukannya, misalnya atas mayat seseorang untuk menentukan sebab kematian dan lain sebagainya, keterangan mana yang diperlukan oleh hakim dalam suatu perkara.
·        Fockmen-Andre
Visum Et Revertum adalah laporan dari ahli untuk pengadilan, khususnya dari pemeriksaan oleh dokter, dan didalam perkara pidana.
·        Ny. Karlina P.A. Soebroto
Visum et Revertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah / janji (jabatan / khusus), tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya.
·        Abdul Mun’im Idris
Visum et Revertum adalah laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan (Idris, 1997:2)
Jenis VeR pada umumnya adalah:
1)      VeR perlukaan (termasuk keracunan)
2)      VeR kejahatan susila
3)      VeR jenaza
4)      VeR psikiatrik
Ada lima bagian tetap dalam laporan Visum et repertum, yaitu:
1)      Pro Justisia. Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa visum et repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.
2)      Pendahuluan. Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR, melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan penyidik pemintanya berikut nomor dan tanggal, surat permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa.
3)      Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil Pemeriksaan", berisi semua keterangan pemeriksaan. Temuan hasil pemeriksaan medik bersifat rahasia dan yang tidak berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.
4)      Kesimpulan. Bagian ini berjudul "kesimpulan" dan berisi pendapat dokter terhadap hasil pemeriksaan.
5)      Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku "Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan kitab undang-undang hukum acara pidana/KUHAP".
Menurut R. Atang Ranoemihardja, sesuai denga kondisi tubuh dan kesehatan korban, maka Visum Et revertum diberikan menurut keadaannya masing-masing hingga timbullah berbagai macam Visum et Revertum yaitu:
1)      Visum et Revertum yang diberikan sekaligus
a)      dalam hal “penganiayaan ringan”
b)      tantang “mayat”
2)      Visum et Revertum Sementara
Diberikan bila si korban masih dirawat di Rumah Sakit. Hal ini dibutuhkan sehubugan dengan jika akan melakukan penahanan terhadap pelaku tindak pidananya (dader-nya) maka sesuai dengan Pasal 21 ayat (4) huruf a dan b KUHAP bahwa penahanan sementara hanya dapat dilakukan antara lain jika tindak pidana yang bersangkutan diancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih, jo Pasal 351 ayat (1) dan Pasal 353 ayat (1) KUHP tentang luka.
3)      Visum et Revertum Lanjutan
 Seperti yang telah diterangkan pada ad.2 bahwa jka si korban masih dirawat di Rumah sakit dapat diberikan Visum et Revertum sementara, dan detelah ia keluar dari Rumah Sakit maka diberikan Visum et Revertum (R. Atang Ranoemihardja, 1991:28-29).
b.      Tujuan Visum et Revertum
Tujuan Visum et Revertum menurut Atang Ranoemihardja yaitu:
1)      Untuk mengganti sepenuhnya barang bukti yang diperiksa.
Visum et Revertum merupakan rencana (verslag) yang diberikan oleh seorang dokter mengenai apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan secara objektif, sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus mengganti sepenuhnya barabg bukti yang telah diperiksadengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya daripadanya dapt ditarik kesimpulan yang tepat.
2)      Selain itu visum juga digunakan sebagai dokumen kedokteran.
Visum et Revertum juga dapat dipakai sebagai dokumen yang dapat dinyatakan kepada dokter lain tentang barang bukti yang telah diperiksa apabila yang bersangkutan (Jaksa, Hakim) tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut (Atang Ranoemihardja, 1991:21-22).
Selain tujuan diatas Visum et Revertum juga dapat digunakan untuk mengetahui tentang jenis luka, jenis penyebab luka dan derajat luka, seperti:
1)      Jenis Luka
Apakah luka itu luka iris, luka tusuk, luka bacok, luka tembak atau luka bakar.
2)      Jenis Benda Penyebab Luka
Apakah itu benda tajam, benda tumpul, api, zat kimia atau senjata api.
3)      Derajat Luka
a)      Luka derajat pertama
Luka yang tidak berakibat penyakit atau halangan menjalankan jabatan atau pekerjaan.
b)      Luka derajat kedua
Luka yang berakibat penyakit dan atau halangan menjalankan jabatan atau sementara waktu.
c)      Luka derajat tiga
Luka yang menyebabkan rintangan / halangan tetap dalam menjalankan jabatan, pekerjaan atau pencaharian (R. Atang Ranoemihardja, 1991:32)
Jika dilihat dari kegunaannya maka pembuatan dari Visum et revertum itu sendiri mempunyai kegunaan sebagai berukut :
1)      Menetukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana
2)      Dapat memberikan petunjuk apakah perlu tersangka diadakan penahanan
3)      dapat memberikan petunjuk kepada penyidik dalam melakukan penyidikan
4)      Visum et Revertum dapat berguna pula untuk menentukan tuduhan apa yang  akan di ajukan kepada Hakim terhadap tersangka (Prakoso dan Murtika, 1987:135-137).
c.       Nilai, Kekuatan, dan Kedudukan Visum et Revertum
Sebagaimana telah diterangkan diatas bahwa Viaum et Revertum adalah suatu ralas, suatu rencana atau verslag atas pemeriksan barang bukti. Oleh karena itulah Visum et Revertum merupakan pengganti sepenuhnya daripada barang bukti yang diperiksa, maka oleh karenanya pula Visum et Revertum pada hakekatnya mempunyai nilai, kekuatan dan kedudukan hukum sebagai alat bukti yang sh. Akan tetapi dalam hal ini, ada 2 cara pemeriksaan keterangan ahli yang sekaligus melahirkan 2 bentuk keterangan ahli :
1)      Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk “laporan” atau “Visum et Revertum”
2)      Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk “keterangan langsung secara lisan” di sidang pengadilan yang dituangkan dalam berita acara persidangan.
Mengenai keteranagn ahli diberikan langsung secara lisan tentu tidak menimbulkan masalah. Karena sifatnya benar-benar murni sebagai alat keteragan ahli yang dapat dibedakan secara tegas dari alat bukti lainnya seperti alat bukti keterangan saksi, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Akan tetapi lain halnya denagn keterangan ahli yang dibuat dalam bentuk laporan atau Visum et REvertum, alat bukti yang sekaligus menyentuh 2 alat bukti yang sah yaitu sebagai berikut :
1.      Sebagai alat bukti keteranagn ahli yang berbentuk laporan atau Visum et Revertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli.
2.      Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau Visum et Revertum juga menyentuh alat bukti surat.
Dari Pasal 187 huruf c KUHAP ini dapat kita ketahui bahwa :
“Visum et Revertum memenuhi unsur sebagai alat bukti surat, karena Visum et Revertum merupakan suatu laporan tertulis yang dibuat oleh seorang ahli mengenai suatu hal atau keadaan yang diperiksa dan diminta secara resmi oleh penyidik”.
Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Visum et Revertum termasuk alat bukti, karena termasuk ked ala alat bukti surat yang mana merupakan suatu alat bukti yang sah di mata hukum. Hal ini sesuai dengan alat bukti yang sah, yang telah tertuan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

d.      Peranan Visum et Repertum Dalam Proses Penanganan Perkara Pidana Serta Dasar Hukum Penggunaannya Oleh Penyidik Menurut KUHAP
Mengenai peranan visum et repertum dalam proses penanganan perkara, sebelum membahas bagaimana peranan tersebut, berikut ini yang dimaksud dengan arti kata “peranan”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “peran” diartikan sebagai “seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat”. Sedangkan kata “peranan” diartikan yaitu “bagian dari tugas yang harus dijalankan”. Kata “pemeranan” diartikan “proses, cara, perbuatan memahami, perilaku yang diharapkan dan diikatkan dengan kedudukan seseorang.”
Berdasarkan definisi-definisi diatas, diterapkan dengan peranan visum et repertum, maka dapat disimpulkan bahwa peranan visum et repertum yaitu bagian dari tugas, cara, proses, yang dapat diikatkan pada visum et repertum menurut kedudukannya. Apabila meninjau peranan visum et repertum dalam penanganan suatu perkara, khususnya dalam penulisan skripsi ini, maka hal ini mempunyai arti yaitu tugas/ cara/ proses yang dapat dilakukan dan atau diberikan oleh visum et repertum dalam kedudukannya pada proses penyidikan suatu tindak pidana perkosaan.
Di dalam suatu perkara yang mengharuskan penyidik melakukan penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka penyidik harus mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut. Salah satu bukti adalah akibat tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka terhadap korban. Visum et repertum yang dibuat oleh dokter dapat dipakai oleh penyidik sebagai pengganti barang bukti untuk melengkapi surat perintah penahanan tersangka.
Karena tujuan pemeriksaan perkara pidana adalah mencari kebenaran materiil, maka setiap masalah yang berhubungan dengan perkara pidana tersebut harus dapat terungkap secara jelas. Demikian halnya dengan visum et repertum yang dibuat oleh dokter spesialis forensik atau atau dokter ahli lainnya, dapat memperjelas alat bukti yang ada bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sehubungan dengan hakekat pemeriksaan perkara pidana adalah mencari kebenaran materiil maka kemungkinan menghadapkan Dokter untuk membuat visum et repertum adalah suatu hal yang wajar demi kepentingan pemeriksaan dan pembuktian.
Mengenai dasar hukum peranan visum et repertum dalam fungsinya membantu aparat penegak hukum menangani suatu perkara pidana, hal ini berdasarkan ketentuan dalam KUHAP yang memberi kemungkinan dipergunakannya bantuan tenaga ahli untuk lebih memperjelas dan mempermudah pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana.
Ketentuan dalam KUHAP yang memberi dasar hukum bahwa pada tahap penyidikan penyidik dapat meminta keterangan ahli, dimana hal ini meliputi pula keterangan ahli yang diberikan oleh dokter pada visum et repertum yang dibuatnya atas pemeriksaan barang bukti, adalah sebagai berikut :
a)      Pasal 7 KUHAP mengenai tindakan yang menjadi wewenang Penyidik, khususnya dalam hal mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan perkara.
b)      Pasal 120 KUHAP. Pada ayat (1) pasal ini disebutkan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.”
c)      Pasal 133 KUHAP dimana pada ayat (1) dinyatakan : “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”.
Ayat (2) Pasal 133 KUHAP menyebutkan : “Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.”
Sedangkan mengenai dasar hukum tindakan dokter dalam memberikan bantuan keahliannya pada pemeriksaan perkara pidana, hal ini tercantum dalam Pasal 179 KUHAP dimana pada ayat (1) disebutkan : “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.”  
Bantuan dokter untuk proses peradilan dapat diberikan secara lisan (berdasar Pasal 186 KUHAP), dapat juga secara tertulis (berdasar pasal 187 KUHAP). Bantuan dokter untuk proses peradilan baik secara lisan ataupun tertulis semuanya termasuk dalam pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang sah.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP diatas, maka baik tindakan  dokter dalam membantu proses peradilan (dimana dalam hal ini tindakan membuat visum et repertum untuk kepentingan penanganan perkara pidana) maupun tindakan penyidik dalam meminta bantuan tersebut, keduanya mempunyai dasar hukum dalam pelaksanaannya.








D.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini,  penelitian yang dilakukan untuk membahas permasalahan tersebut mempunyai tujuan:
1)      Untuk mengetahui peranan visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana perkosaan.
2)      Untuk mengetahui upaya yang dilakukan penyidik apabila hasil visum et repertum tidak sepenuhnya mencantumkan keterangan tentang tanda kekerasan pada diri korban perkosaan.

E.     Manfaat Penelitian
1.      Manfaat Teoritis
a. Dapat member manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana
b. Dapat menjadi referensi, masukan dan bahan kajian di bidang hukum pidana.
2.      Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai peran visum et repertum dan penerapannya oleh pihak Kepolisian selaku penyidik, khususnya dalam mengungkap tindak pidana perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi di masyarakat.
b. Penelitian yang dilakukan dapat melatih dan mengasah kemampuan penulis dalam mengkaji dan menganalisa teori-teori yang didapat dari bangku kuliah dengan penerapan teori dan peraturan yang terjadi di masyarakat. Hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan pengetahuan dan gambaran mengenai realitas penggunaan visum et repertum bagi kepentingan penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana perkosaan.

F.      Metode Penelitian
1.    Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah metode  pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivistis. Konsepsi ini memandang bahwa hukum identik dengan norma-norma yang tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga dan pejabat yang berwenang. (Soemitro, 1990 : 4).
2.    Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitian yang hanya   menggambarkan keadaan objek atau masalahnya secara jelas tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku secara umum.
3.    Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Polres Purwokerto.
4.    Sumber Data
a.       Data Sekunder
Mengingat penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, maka data  pokok yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.
b.      Data Primer
Data primer diperoleh melalui wawancara dengan korban, petugas puskesmas dan polisi yang terkait sebagai pendukung data sekunder.
5.    Metode Pengumpulan Data
a.   Data Sekunder
Data diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku dan literatur lainnya serta melakukan studi kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan masalah atau objek penelitian.  
b.   Data Primer
Data diperoleh melalui wawancara bebas terpimpin dengan pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait sebagai pendukung data sekunder.
6.    Metode Penyajian Data
Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis. Keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan pokok pemasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.


7.    Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan data yang diperoleh berdasarkan norma, hukum atau kaidah hukum serta doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti.









DAFTAR PUSTAKA

Bawengan, G. W. Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi. Jakarta,
PT. Pradnya Paramita. 1989.

Hamzah, Andi. Pengantar Hukum acara Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia. 1990.
-------------------, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : CV Sapta Artha Jaya. 1996.
-----------------, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. 2001.

Harahap, Yahya, M. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta : Pustaka Kartini. 1993.

Idries. Abdul Mun’im. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Binarupa Aksara. 1997

I, Ketut, Murtika dan Djoko, Prakoso. Dasar-DasarKedokteran Kehakiman. Jakarta : Bina Aksara. 1987.

Moejatno.  Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Diktat, 1975.

. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Bina Aksara. 1984.

Nurul, Ratna Afiah. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.

Poernomo, Bambang. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.

Prokoso, Djoko. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian da Dalam Proses Pidana. Yogya : Liberty. 1987.

Prinst, Darwan, S.H. 1989. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Djambatan: Jakarta.

Soesilo, R. Kriminalistik (Ilmu Penyidikan Kejahatan). Bogor, Politeia. 1989.

Soemitro, Ronny, Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Semarang : Ghalia Indonesia. 1982.

Prodjodikoro, Wiryono. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur, 1985.

RM. Soerjono Soerjowidjojo, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka. Jakarta, Ghalia Indonesia. 1983.

Saleh, Roeslan. Suatu Reorganisasi Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru. 1983.

Soedarto, Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto. 1990.

Soesilo, R. Kriminalistik (Ilmu Penyidikan Kejahatan). Bogor, Politeia. 1989.

                . Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Karya Anda: Surabaya.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya. Bogor: CV. Politea. 1996.

Suryono, Sutarto. Sari Hukum Acara Pidana. Semarang: Yayasan Cendekia Purna Dharma, 1987.

Taufik, Muhammad Makarao, S.H, M.H. dan Suhasril S.H. 2004. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia: Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar